Bawaslu Petakan Kerawanan Pilkada 2020

Bawaslu Petakan Kerawanan Pilkada 2020

Jakarta, Badan Pengawas Pemilihan Umum - Bawaslu meluncurkan Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 di Jakarta, Selasa (25/2/2020). Berdasarkan hasil penelitian Bawaslu,  rata-rata  penyelenggaraan  pilkada  di  kabupaten/kota  berada  dalam  kategori  rawan sedang dan penyelenggaraan pilkada provinsi masuk dalam kategori rawan tinggi. Oleh karena itu dibutuhkan pencegahan pelanggaran dan pengawasan penyelenggaraan pilkada secara maksimal yang melibatkan semua pemangku kepentingan.

Dimensi-dimensi  kerawanan  pada  tingkat  kabupaten/kota  memiliki  skor  rata-rata  51,65  yang masuk dalam kategori rawan sedang. Artinya, kerawanan pilkada di tingkat kabupaten/kota berada pada level 4 yang berarti lebih dari setengah indikator kerawanan berpotensi terjadi. Sedangkan pada  pemilihan  gubernur,  Sembilan  provinsi  yang  menyelenggarakan  pemilihan  memiliki  skor rata-rata skor 73,8 yang masuk dalam kategori tinggi, yang berarti hampir seluruh indikator kerawanan berpotensi terjadi.

 

Angka   tersebut   diambil   dari   pengukuran   atas   empat   dimensi   dan   15   subdimensi   yang mencerminkan kerawanan penyelenggaraan pilkada. Empat dimensi yang diukur dalam IKP Pilkada 2020  adalah  (1)  dimensi  konteksi  sosial  dan politik dengan subdimensi keamanan lingkungan, otoritas penyelenggara pemilu, otoritas penyelenggara negara, dan relasi kuasa di tingkat lokal; (2) dimensi pemilu yang bebas dan adil dengan subdimensi hak pilih, pelaksanaan kampanye, pelaksanaan pemungutan suara, ajudikasi keberatan pemilu, dan pengawasan pemilu; (3) dimensi kontestasi dengan subdimensi hak politik, proses pencalonan, dan kampanye calon; dan (4) dimensi partisipasi dengan subdimensi partisipasi pemilih, partisipasi partai politik, dan partisipasi publik.

 

IKP Pilkada Kabupaten/Kota

Pada pemetaan potensi kerawanan pilkada kabupaten/kota, Kabupaten Manokwari, Papua Barat adalah daerah dengan skor dan level tertinggi kerawanan pilkada dengan skor 80,89. Kabupaten lain  dengan skor kerawanan tertinggi adalah Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat (80,89); Kota Makassar,  Sulawesi  Selatan  (78,01);  Kabupaten  Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (74,94);Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah (72,48); Kabupaten Sula, Maluku Utara (71,45); Kota Sungai Penuh, Jambi (70,63); Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara (70,62); Kabupaten Pasangkayu,Sulbar (70,20); Kota Tomohon, Sulawesi Utara (66,89); Kota Ternate, Maluku Utara (66,25);  Kabupaten   Serang,   Banten (66,04);Kabupaten Kendal, Jawa Tengah (65,03); dan  Kabupaten Sambas, kalimantan Barat (64,53).

Dengan skor rata-rata kerawanan setiap dimensi sebesar 51,65, kerawanan pilkada kabupaten/kota paling tinggi ada pada dimensi partisipasi politik dengan skor 64,09 yang berarti termasuk dalam kategori  rawan  tinggi  level  6.  Artinya, hampir seluruh indikator kerawanan berpotensi terjadi. Dimensi konteks sosial politik masuk dalam kategori rawan sedang level 4 dengan skor 51,67.

 

Sedangkan dimensi penyelenggaraan pemilu yang bebas dan adil memiliki skor 51,00 yang juga masuk  dalam  kategori  rawan  sedang  level  4.  Level  4  berarti  lebih  dari  setengah  indikator kerawanan berpotensi terjadi. Terakhir, dimensi kontestasi memiliki skor 44,96. Dimensi kontestasi termasuk dalam kategori rawan sedang dengan level 3, yaitu hampir setengah indikator kerawanan berpotensi terjadi.

Pada dimensi konteks sosial politik, subdimensi yang dengan kerawanan paling tinggi adalah relasi kuasa di tingkat lokal dengan skor 56,31, disusul subdimensi otoritas penyelenggara pemilu dengan skor kerawanan 53,36; subdimensi penyelenggara negara dengan skor kerawanan 49,61; dan subdimensi keamanan dengan skor 48,53.

Terdapat setidaknya 15 kabupaten/kota dengan kerawanan dimensi konteks sosial politik pada level 6 dengan kerawanan tinggi. 15 kabupaten/kota dengan skor tertinggi pada dimensi ini adalah Kabupaten Manokwari (82,19); Kabupaten Mamuju (80,44), Kota Sungai Penuh (76,90); Kabupaten Lombok Tengah (74,66); Kabupaten Pasangkayun(74,38); Kota Makassar, Sulawesi Tengah (73,60); Kabupaten Minahasa Utara (73,60); Kabupaten Labuhanbatu, Sumatera Utara (71,46); Kota Tomohon  (71,14);  Kota  Tidore  Kepulauan,  Maluku  Utara  (70,84);  Kabupaten  Kepulauan  Sula (70,31); Kota Pematang Siantar, Sumatera Utara (69,34); Kabupaten Agam, Sumatera Barat (69,34); Kabupaten  pangandaran,  Jawa  Barat  (68,81);  dan  Kabupaten  Mamuju  Tengah, Sulawesi Barat (68,82).

Pada   dimensi   konteks   sosial   politik,   terdapat   15  indikator  yang  paling  dominan  terdapat kerawanan. Yang dimaksud dengan indikator adalah kasus yang signifikan terjadi pada penyelenggaraan Pemilu 2019 dan berpotensi terjadi kembali pada Pilkada 2020 mendatang.

Lima  indikator  dominan  terdapat  di  lebih  dari  100  kabupaten/kota. Lima indikator itu adalah ketidaknetralan ASN (di 167 kabupaten/kota), pemberian uang/barang/jasa ke pemilih pada masa kampanye  (di  136  kota);  perubahan  hasil  rekapitulasi  suara  di  tingkat desa/kecataman/kabupaten-kota/provinsi (119 kabupaten/kota); pemberian uang/barang/jasa  ke pemilih pada masa tenang (109 kabupaten/kota); dan putusan KASN terkaitan ketidaknetralan ASN (109 kabupaten/kota).

Dalam dimensi penyelenggaraan pemilu yang bebas dan adil, subdimensi yang memiliki kerawanan paling  tinggi  adalah  hak pilih dengan skor 61,57. Subdimensi lain menyusul yaitu pengawasan pemilu (57,81), pelaksanaan pemungutan suara (57,81), pelaksanaan pemungutan suara (49,60), ajudikasi keberatan pemilu (43,31) dan pelaksanaan kampanye (42,83).

15 kabupaten kota dengan skor tertinggi pada dimensi penyelenggaraan pemilu yang bebas dan adil adalah Kabupaten Manokwari (88,28); Kota Makassar (76,19); Kabupaten Mamuju (72,09); Kabupaten  Yahukimo,  Papua  (72,09);  Kabupaten  Kepualaun  Sula  (69,53);  Kabupaten  Lombok Tengah  (68,92);  Kabupaten  Kotawaringin  Timur  (68,36);  Kabupaten Serang (67,97); Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan (67,65); Kabupaten Minahasa Utara (67,08), Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur (66,56); Kabupaten Cianjur, Jawa Barat (66,15); Kabupaten Halmahera Barat, Maluku Utara   (65,18); Kabupaten Mamuju Tengah (64,90), dan Kabupaten Bandung, Jawa Barat (64,43).

Pada  dimensi  kontestasi,  subdimensi  proses  pencalonan  mencapai skor 46,36 dan subdimensi kampanye calon mendapat skor 43,75. Adapun 15 kabupaten dengan skor tertinggi pada dimensi tersebut adalah Kabupaten Lomnok tengah (86,69); Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat (82,30); Kota Ternate (79,59); Kabupaten Pasangkayu (79,13); Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur (76,16); Kota Makassar (74,87); Kabupaten Kotabaru,   Kalimantan   Selatan   (73,95);   Kabupaten   Pakpak   Barat,   Sumatera   Utara   (72,83); Kabupaten Mamuju (72,06), Kabupaten Mamuju Tengah (72,06); Kabupaten Nunukan, Kalimantan utara (71,85); Kabupaten Kendal (71,68); Kabupaten Kotawaringin Timur (70,42); Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan (70,42); dan Sungai Penuh (69,96).

Pada dimensi partisipasi politik, subdimensi partisipasi publik mencapai skor kerawanan tertinggi dengan  skor  46,36.  Dua  subdimensi  lain  adalah  partisipasi  pemilih  dengan  skor  43,75  dan partisipasi partai politik dengan skor 43,75.

Daerah  dengan  skor  tertinggi  pada  dimensi ini adalah Kabupaten Mamuju (94,89); Kabupaten Kotawaringin  Timur  (93,78);  Kabupaten  Manggarai Barat (91,95); Kabupaten Kotabaru (87,44); Kabupaten Mamuju tengah (86,32); Kabupaten Manokwari (86,00); Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah (84,75), Kabupaten Kendal (84,26); Kabupaten Teluk Wondoma, Papua Barat (82,02); Kabupaten  Labuhanbatu  Utara  (81,95),  Kabupaten  Kepulauan  Sula  (80,79);  Kabupaten  Tojo Una-Una, Sulawesi Tengah (79,50); Kabupaten Nias, Suamtera Utara (79,32); Kabupaten Minahasa Selatan (79,32), dan Kabupaten Samosir, Sumatera Utara (79,22).

Pada IKP pemilihan di tingkat kabupaten/kota tingkat kerawanan terbagi atas tiga yaitu rawan rendah dengan skor 0-43,06; rawan sedang dengan skor 43,07-56,94; dan rawan tinggi dengan skor 56,95-100. Sedangkan level kerawanannya terbagi enam yaitu level 1 (skor lebih kecil dari 36,12), yang berarti sebagian kecil indikator kerawanan berpotensi terjadi; level 2 (skor 36,13-43,06), yang berarti sebagian indikator kerawanan berpotensi terjadi; level 3 (skor 43,07-50,00), yang berarti hampir setengah kerawanan berpotensi terjadi; level 4 (skor 50,02-56,94) yang berarti lebih dari setengah indikator kerawanan berpotensi terjadi; level 5 (skor 56,95-63,88) yang berarti sebagian besar  indikator  kerawanan  berpotensi  terjadi;  dan level 6 (skor lebih dari 63,88) yang berarti seluruh indikator kerawanan berpotensi terjadi.

IKP Pemilihan Gubernur

Dari  Sembilan  provinsi  yang  menyelenggarakan  pemilihan  gubernur,  Provinsi    Sulawesi  Utara adalah daerah dengan skor kerawanan tertinggi yaitu mencapai 86,42. Delapan provinsi lainnya berturut-turut: Sulawesi tengah (81,05), Sumatera Barat (80,86), Jambi (73,69), Bengkulu (72,08), Kalimantan Tengah (70,08), Kalimantan Selatan (69,70), Kepulauan Riau (67,43), dan Kalimantan Utara (62,87).

Pada dimensi konteks sosial politik, provinsi dengan skor kerawanan paling tinggi adalah Sulawesi Utara dengan skor 91,24. Skor kerawanan dimensi konteks sosial politik Sulawesi Tengah mencapai 87,23 diikuti Jambi (86,36), Sumatera Barat (85,46), Bengkulu (75,84), Kepulauan Riau (74,04 ), Kalimantan Tengah (71,46), Kalimantan Selatan (68,78), dan Kalimantan Utara (59,06).

Sedangkan pada dimensi penyelenggaraan pemilu yang bebas dan adil, urutannya adalah Sulawesi Utara (85,08), Sumatera Barat (77,56), Sulawesi Tengah (72,25), Jambi (70,16), Bengkulu (69,80), Kalimantan Tengah (69,29), Kalimantan Selatan (69,25), Kalimantan Utara (62,43); dan Kepulauan Riau (59,40).

Selanjutnya, skor pada dimensi konteastasi adalah Sulawesi Tengah (78,81), Sulawesi Utara (75,47), Sumetera  Barat  (667,83),  Kepulauan Riau (58,71), Bengkulu (57,86), Jambi (56,46), Kalimantan Selatan (56,40), Kalimantan Tengah (55,14) dan Kalimantan Utara (51,83).

Pada dimensi partisipasi politik, kerawanan setiap provinsi tercatat dengan Sumatera Barat sebagai provinsi yang paling rawan dengan skor 100. Selanjutnya adalah Sulawesi Utara (97,69), Kalimantan Selatan (94,62), Kalimantan Tengah (93,78), Bengkulu (92,83), Sulawesi Tengah (90,52), Kalimantan Utara (89,75), Kepulauan Riau (84,75), dan Jambi (84,14).

Pada IKP pemilihan gubernur dan wakil gubernur tingkat kerawanan juga terbagi atas tiga kategori yaitu  rawan  rendah,  rawan sedang, dan rawan tinggi. Namun, skor untuk kategori kerawanan berbeda dengan IKP pada pemilihan di kabupaten/kota. Pada IKPP pemilihan gubernur, kategori rawan rendah diletakkan pada skor 0-34,91; rawan sedang dengan skor 42,47-57,54; dan rawan tinggi dengan skor 57,55-100. Level kerawanan pun terbagi atas enam yaitu level 1 (skor lebih kecil dari 34,91); level 2 (skor 34,92-42,46); level 3 (dengan skor 42,47-50,00); level 4 (dengan skor 50,01-57,54); level 5 (skor 57,55-65,09); dan level 6 (skor lebih dari 65,10).

Atas temuan itu, Bawaslu menyampaikan beberapa rekomendasi. Kepada penyelenggara pemilu, Bawaslu merekomendasikan agar meningkatkan pelayanan terutama terhadap proses pencalonan, baik calon perseroangan maupun calon yang diusung partai politik atau gabungan partai politik. Peningkatan pelayanan juga harus dilakukan dalam memastikan akurasi data pemilih dan peningkatan partisipasi masyarakat.

Kepada  partai  politik  direkomendasikan  agar meningkatkan akses dan keterlibatan masyarakat dalam proses pencalonan. Partai politik juga diminta melakukan pendidikan politik yang intensif sepanjang tahapan Pilkada 2020.

Selanjutnya,  Bawaslu  merekomendasikan  pemerintah,  baik  pemerintah  pusat  maupun  daerah untuk memastikan dukungan pelaksanaan pilkada dan mengintensifkan forum-forum komunikasi seperti forum komunikasi pimpinan daerah (forkopimda) dan forum kerukunan umat beragamab (FKUB)  di  daerahnya.  Komunikasi  tersebut  penting  untuk  konsolidasi dan pencegahan potensi kerawanan.

Kepada  jajaran  Kepolisian  Negara  Republik Indonesia (Polri), Tentara Nasional Indonesia (TNI), Badan  Intelijen  Negara  (BIN) dan BIN Daerah (BINDA), Bawaslu merekomendasikan penguatan koordinasi untuk mencegah potensi konflik horizontal dan vertikal berdasarkan pemetaan dari IKP. Kepada  organisasi  kemasyarakatan  (ormas)  dan organisasi kemasyarakatan dan pemuda (OKP) direkomendasikan agar memperluas jaringan pemantauan pilkada untuk meningkatkan kesadaran berpolitik yang demokratis.

Dengan berpegang pada data hasil penelitian tersebut, Bawaslu akan melakukan koordinasi dan koordinasi dengan seluruh pemangku kepentingan penyelenggaraan pengawasan pemilu, baik kementerian/Lembaga maupun masyarakat sipil. Koordinasi dan sinergi dilakukan untuk membahas strategi  dan  memaksimalkan  pencegahan  pelanggaran  dan  pengawasan  pemilu sesuai dengan tugas  pokok  dan  fungsi masing-masing instansi. Strategi juga akan disesuaikan dengan kondisi kerawanan di setiap daerah.

 

Sumber: Siaran Pers Bawaslu (Humas Bawaslu)

Postingan Terkait

Berita Bawaslu Sambas

Komisioner Bawaslu Sambas Melakukan Supervisi Pleno Rekapitulasi

Berita Bawaslu Sambas

Apel Patroli Pengawasan Anti Politik Uang Pada Masa Tenang Pemilihan Umum 2019

Berita Bawaslu Sambas

Bawaslu Kab.Sambas Gelar Upacara Hari Lahirnya Pancasila

Berita Bawaslu Sambas

Bawaslu Kab. Sambas Melaksanakan BimTek Evaluasi Pengelolaan Keuangan dan Administrasi Pelaporan Pengawasan Pemilu 2019

Komentar